KARANGASEM (Parahyangan-post.com) - “Tanggal 24 November 2017 yang lalu mereka
mulai datang ke sini.” Siang itu (3/12), I Putu Sutawijaya (40) ditemani
I Wayan Winata (39) dari Palang Merah Indonesia (PMI) mengawali
kisahnya kepada kami.
Saat
itu, sebanyak 30 KK warga Banjar Kesimpar, Desa Besakih, Kecamatan
Rendang, di Karangasem, Bali turun dari tempat tinggalnya ke komplek
Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) atau Balai Pertanian di Rendang.
Mereka meminta bantuan PMI agar dibuatkan tempat penampungan darurat
dengan sistem 1 KK mendapatkan 1 tempat.
Hari
berganti dan Gunung Agung menggeliat lagi, sehingga pada 27 November
2017, PVMBG menaikkan status gunung menjadi Awas. Inilah titik perubahan
yang menandai hadirnya gelombang penyintas di Balai Pertanian Rendang.
Dari semula ‘hanya’ 30 KK dan sekitar 120 jiwa, lokasi ini kemudian
didatangi 1.500 KK dan sekitar 6.000 jiwa.
Jumlah
penyintas yang sangat banyak dan berada di satu lokasi tersebut tentu
membutuhkan satu penanganan yang baik. Penyintas dan Lembaga Swadaya
Masyarakat pun bahu membahu mengubah pelataran balai pertanian itu
menjadi satu kawasan permukiman sementara.
Bersamaan dengan tumbuhnya permukiman baru itu, terbit pula cerita kemandirian, kreativitas, dan sekaligus kepercayaan.
Evakuasi Mandiri
“Saya
diajak Pak Kadus ke sini.” Demikian disampaikan oleh I Mangku Nadya
(60) saat mengenang awal mula dirinya bisa berada di balai pertanian
itu. Di kampungnya, di atas sana, hujan abu cukup tebal, getaran bumi
begitu terasa, dan aroma belerang tercium kuat sehingga membuat Mangku
pusing. Dia tak tahan lagi dan menerima ajakan Kadusnya untuk pindah
sementara.
Cerita serupa
juga disampaikan oleh I Gusti Ngurah Alit (52). Secara bersemangat dan
diselingi dengan kelakar, Gusti mengisahkan bahwa tak hanya abu,
getaran, dan aroma, namun rerumputan dan pepohonan sudah mengering. Saat
beberapa hari yang lalu dia menengok kampung, disaksikannya anjing dan
ayam sudah banyak yang mati tapi bukan karena kekurangan makan.
Beberapa
alasan itulah yang kemudian mendorong masyarakat untuk melakukan
evakuasi hingga sampai ke balai pertanian di Rendang tersebut.
Sebelumnya, pada periode Awas Gunung Agung yang pertama, warga dari
Besakih tercerai berai di berbagai lokasi. Saat ini, persiapan dilakukan
dengan lebih baik. Para pemuka adat dan tokoh masyarakat melakukan
survei tempat terlebih dahulu, mengorganisasikan evakuasi, hingga
meminta izin ke Kepala Balai untuk tinggal sementara.
Kreativitas Penyintas
“Di
sini, hal yang paling mengharukan adalah adanya kesadaran masyarakat
bahwa mereka berdaya,” Sutawijaya menjelaskan. Penyintas membawa bambu
sendiri, terpal sendiri, dan sebagian yang tidak memiliki terpal meminta
kepada PMI. Tercatat PMI sudah mendistribusikan 800 lembar terpal
sampai dengan Minggu (3/12).
Gusti
mengatakan bahwa warga melakukan iuran seratus ribu rupiah per KK untuk
membeli bambu dan kemudian bergotong royong membangun tenda-tenda
sederhana. Menurut Mangku, warga Besakih beruntung karena banyak tukang
bangunan di antara mereka sehingga pembangunan tenda dan fasilitas
pendukung seperti toilet dapat dilakukan secara mandiri.
Pembangunan
hunian sementara itu pun menunjukkan dengan gamblang kreativitas
masyarakat. Sebagian warga mendirikan tenda keluarga berukuran 4x4 meter
disambung dapur dan kamar kecil. Sebagian yang lain mendirikan tenda
panjang seperti komunal, namun disekat-sekat per keluarga. Gusti
mengaku, ide pembangunan tenda semacam itu didapatkannya dari pameran,
bagaimana booth-booth pameran biasanya disusun. Gusti yang juga anggota
kelompok tani memanfaatkan pengalaman saat dirinya sering mengikuti
kegiatan-kegiatan pameran.
Tak
cukup sampai di situ, rupanya warga pun sudah memperhitungkan bentuk
atap agar tidak rubuh oleh hujan abu dan bebannya yang berat. Mereka
membangun atap-atap tenda secara melengkung dan tidak miring seperti
rumah pada umumnya. Tujuannya adalah untuk memudahkan membersihkan abu,
yaitu dengan cara menyodoknya dari bawah bila sudah cukup banyak
menumpuk di atap.
Kreativitas
yang lain juga ditunjukkan oleh masyarakat. Mereka berusaha agar
fungsi-fungsi sosial tak berubah meskipun tinggal di pos pengungsi. Oleh
sebab itu, maka dapat dengan mudah kita temukan warung kelontong dan
toko makanan. Ini adalah peran yang dipertahankan dari kampung asal ke
lokasi permukiman sementara itu.
Warga
juga berusaha sedapat mungkin agar kehidupan tetap berjalan sebagaimana
biasanya. Mereka membawa burung-burung peliharaannya hingga tanaman
bonsai dengan pot-potnya yang besar. Selain karena alasan hobi, dengan
membawa hal-hal tersebut, mereka tengah merawat kehidupannya sendiri
melalui perhatian pada hewan dan tumbuhan.
Di
beberapa tenda, dapat kita jumpai seperangkat kursi dan meja terjejer
rapi di beranda. Salah satunya adalah di depan tenda Gusti. “Saya ingin
tetap bisa menikmati kopi di pagi hari sambil duduk-duduk di sini
seperti saat di rumah.” Jelas Gusti sambil tertawa.
Di
pos pengungsi ini, warga berusaha sedapat mungkin agar tetap nyaman
seperti di rumah mereka masing-masing. Oleh karena itu, masak pun
dilakukan sendiri-sendiri dan tidak disediakan oleh dapur umum seperti
adatnya pos pengungsi. Sistem pembagian logistik pun sudah diatur, yaitu
melalui Kadus baru dibagikan ke warga. Ini menunjukkan adanya sistem
pengelolaan pos pengungsi yang baik.
Kepasrahan yang Aktif
Sambil
berkelakar dan sering diselingi berbagai cerita yang mengejutkan, siang
itu Gusti berbagi falsafah kehidupan pemeluk Hindu dan orang Bali.
Penganut Hindu memegang teguh Tri Hita Karana. Ini adalah tiga penyebab
kesejahteraan yang bersumber pada keharmonisan hubungan antara manusia
dengan Tuhannya, manusia dengan alam lingkungannya, dan manusia dengan
sesamanya.
Selain itu,
warga di Bali memiliki tiga kepercayaan. Pertama adalah percaya pada
dirinya sendiri, percaya kepada Tuhan, dan percaya kepada pemerintah.
Sebagai contoh, saat kami menanyakan keamanan berbagai harta miliknya
yang ditinggal di atas sana, dia sama sekali tak khawatir. “Kami percaya
karma pala.” Demikian terang Gusti. Lebih lanjut, dia percaya bahwa
pada kondisi yang sulit seperti sekarang ini, maka karma pala akan
berlipat bagi mereka yang berniat jahat. Gusti menyarankan agar kita
selalu berpikir kreatif dengan tujuan positif dan jangan berpikiran
negatif.
Terhadap
pemerintah, Gusti juga memiliki kepercayaan yang tinggi. Itulah sebabnya
warga dari desanya banyak yang melakukan evakuasi setelah Gunung Agung
dinaikkan statusnya dari Siaga menjadi Awas.
Di
tempat terpisah, Deputi I, BNPB, Wisnu Widjaja menyampaikan bahwa
Gunung Agung sangat ramah kepada warga yang tinggal di sekitar
puncaknya. Gunung ini memberikan berbagai tanda agar warga menyingkir
dari zona bahaya. Seperti yang dialami oleh Gusti dan Mangku, maka
getaran gempa, aroma belerang, dan hujan abu adalah sapaan lembut Sang
Hyang Tohlangkir—Dewa Penunggu Gunung Agung dalam mitologi Bali—kepada
warga yang disayangiNya.
Gunung
Agung begitu sayang kepada warga yang tinggal di punggungnya. Kendati
seismograf di Pos Pantau PVMBG Rendang kerapkali overscale,—menunjukkan
aktivitas gempa yang luar biasa intensif—namun letusan hebat tak kunjung
terjadi. Di tempat lain, misalnya di Gunung Kelud, sekali overscale
langsung diikuti letusan yang dahsyat.
Beberapa
hari belakangan ini jika cuaca cerah, kita dapat melihat Gunung Agung
hanya mengeluarkan asap tipis putih dari kepudannya. Seakan-akan semua
baik-baik saja dan dapat melenakan siapa saja. Namun, selain informasi
visual tersebut, Wisnu selalu mengingatkan untuk memadukannya dengan
informasi kegempaan melalui seismograf. Dengan demikian kita memiliki
gambaran yang utuh akan kondisi gunung, tidak hanya berdasarkan simptom
atau gejala yang tampak mata saja, namun juga gejolak magma di perutnya.
Hal ini penting agar semua pihak selalu bersiaga dan tidak terlena
dengan pesona Gunung Agung.
sumber : Tim Pusdatin Humas, BNPB.
LEAVE A REPLY