Keterangan Gambar : Ketua Aktivis Jaringan JAKPAS, Azma (sumber foto : ist/pp)
"Akan Menjadi Suatu Keanehan Bahkan Keganjilan Tersendiri.." (Ketua Jaringan Akitivis JAKPAS, Azma).
JAKARTA (www.parahyangan-post.com) - Rencana penggantian salah satu nama jalan di kawasan Menteng Jakarta dengan nama salah satu tokoh sekuler Turki telah menimbulkan kontroversi tersendiri di kalangan masyarakat Indonesia.
Alasan pemakaian nama Ataturk adalah sebagai wujud imbal balik dari nama Ahmet Soekarno yang menjadi salah satu nama jalan di Ankara Turki ini tentu menjadi pertanyaan besar, khususnya kalangan umat muslim karena Mustafa Kemal Ataturk sangat terkenal sebagai tokoh yang telah meruntuhkan nilai-nilai Islam peninggalan Khilafah Usmani di Turki menjadi sebuah negara sekuler garis keras yang dianggap sangat tidak selaras dengan kondisi Islam di Indonesia.
"Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, khususnya sebagai warga Jakarta, saya rasa penggantian nama di dekat Kantor Kedubes Turki tersebut memang sangat kurang tepat, mengingat Kantor Kedutaan bisa saja berpindah tempat, apalagi jika ibukota negara jadi dipindah ke Kalimantan," Azma menjelaskan.
"Akan menjadi suatu keanehan bahkan keganjilan tersendiri jika kelak perpindahan tersebut terjadi, antara lain berpotensi menimbulkan pertanyaan dari generasi mendatang jika melihat nama jalan Ataturk: 'Apakah NKRI pernah dijajah Turki?' atau 'Kenapa nama Ataturk tidak tertulis di buku-buku sejarah terkait perjuangan melawan Belanda di Batavia?' dan lain-lain," papar Ketua Jakpas ini.
Paham Kemalisme yang sangat melekat pada kekuasaan diktator Mustafa Kemal Ataturk itupun kini sudah mulai tergerus kepopulerannya seiring dengan pergantian pemerintahan di Turki dan perubahan tuntutan zaman.
"Masih mengaku sebagai muslim dengan rakyat mayoritas muslim tapi mengubah Masjid Hagia Sophia menjadi sebuah museum adalah salah satu bukti nyata bahwa Ataturk adalah orang yang tidak menghargai agama dan imannya sendiri, maka untuk apa kita memberi penghargaan walau sekedar menjadi nama sebuah jalan, mengingat Sila Pertama dari Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa," tegas Azma.
"Tentu tidak tepat pula jika Ataturk dianggap Apple to Apple dengan Bung Karno mengingat sejarah perjuangan bangsa dan prinsip pendirian negara dari keduanya yang berbeda walau mungkin memiliki keberanian yang sama sebagai standar figur pemimpin sebuah negara," pungkasnya.
(rd/rls/pp)
LEAVE A REPLY