Home Ekbis Kebijakan Sertifikat Vaksin Persulit Pemulihan Ekonomi Nasional

Kebijakan Sertifikat Vaksin Persulit Pemulihan Ekonomi Nasional

1,169
0
SHARE
Kebijakan Sertifikat Vaksin Persulit Pemulihan Ekonomi Nasional

Keterangan Gambar : Ketua Departemen Ekonomi & Pembangunan, DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Farouk Abdullah Alwyni (Foto : ist/pp)

JAKARTA [www.parahyangan-post.com] - Ketua Departemen Ekonomi & Pembangunan, DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Farouk Abdullah Alwyni menyampaikan bahwa kebijakan sertifikat vaksin yang diberlakukan diberbagai wilayah di Indonesia, khususnya DKI Jakarta, sejak pertengahan Agustus 2021 dapat mempersulit pemulihan ekonomi nasional. 

“Kita sepakat bahwa dibutuhkan keseriusan dalam menangani persoalan pandemik Covid-19 karena kita tidak ingin persoalan yang menimpa banyak kota di Indonesia baru-baru ini terulang lagi,” ujar pria yang menyelesaikan gelar MBA bidang Perbankan Internasional dari Universitas Birmingham (Inggris). Tetapi disisi lain, Farouk menyatakan bahwa penanganan yang diambilpun jangan justru menimbulkan persoalan baru terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat, perlu kebijakan yang kontekstual, realistis, dan mengikuti dinamika yang terjadi terkait virus Covid-19 serta berbagai mutasinya. 

“Sehubungan dengan hal diatas ada hal-hal penting yang perlu dipahami oleh segenap pemegang kebijaksanaan di pusat maupun daerah agar penanganan pandemik Covid-19 tidak menjadi counterproductive, dan mempunyai potensi berbiaya sangat mahal secara ekonomi dan sosial,” jelas mantan eksekutif senior Islamic Development Bank, Jeddah, Saudi Arabia ini. 

Farouk menyatakan hal-hal yang perlu dilihat lebih jauh adalah: (i) persoalan dari virus Covid-19 itu sendiri; (ii) terkait efikasi (daya lindung) vaksin; (iii) kontroversi kewajiban vaksin (mandatory vaccine); dan (iv) kebijakan vaksinasi dari negara-negara besar yang diproyeksi mempunyai pertumbuhan ekonomi yang tinggi di 2021 ini sebagai model. 

“Untuk yang pertama, tantangan baru dari persoalan pandemik Covid-19 dewasa ini, yakni dengan munculnya varian delta dan kemungkinan varian-varian lainnya, hal ini mulai menimbulkan pertanyaan terkait apakah ‘herd immunity’ bisa tercapai. Kondisi dimana kelompok yang sudah divaksinpun masih bisa tertular dan bahkan tetap bisa menularkan membuat Direktur Oxford Vaccine Group, Profesor Sir Andrew Pollard dalam pandangannya kepada parlemen Inggris menyatakan bahwa herd immunity adalah sesuatu yang mythical (mistis) dan menyarankan agar hal tersebut tidak menjadi desain kebijakan vaksinasi bagi Inggris dan juga dunia,” jelas ekonom yang masuk dalam list 500 orang yang berpengaruh dalam pengembangan ekonomi Islam ini. 

“Kedua adalah terkait efikasi dari vaksin itu sendiri. Dr. Gregory Poland, Direktur Vaccine Research Group di sebuah klinik terkenal di Amerika Serikat, Mayo Clinic, Rochester, Minnesota memperingatkan terkait munculnya variant-variant baru yang tidak mempan vaksin seperti Lambda dan B.1.62.1 juga menimbulkan pertanyaan terkait efektivitas vaksin-vaksin yang ada sekarang ini. Hal ini mengingat adanya kasus di Belgia dimana ada 7 orang tewas yang semuanya telah tervaksin secara penuh yang diakibatkan oleh varian B.1.62.1. Persoalan yang ada adalah vaksin-vaksin yang beredar sekarang tidak diciptakan untuk menghadapi varian-varian yang bermunculan tersebut. Intinya, ketimbang penambahan dosis, dia melihat seharusnya ada vaksin-vaksin baru yang bisa berhadapan dengan varian-varian baru dari virus ini,” urai Farouk. 

Terkait poin dua diatas, Farouk juga mengangkat beberapa studi di Inggris yang menemukan bahwa seiring dengan perjalanan waktu terjadi penurunan daya lindung dari vaksin-vaksin yang ada sekarang, dalam konteks ini Pfirzer-BioNTech dan AstraZeneca, mulai dari tiga, empat, dan lima bulan. “Sehubungan dengan ini, seorang Associate Professor, Cellular Microbiology, Universitas Reading, Inggris, Simon Clarke menyatakan ini adalah pengingat bahwa kita tidak bisa bergantung hanya dari vaksin untuk mencegah penyebaran Covid,” ujar mantan Caleg PKS Dapil DKI II itu. 

“Poin ketiga, terkait isu kewajiban vaksin (mandatory vaccine). Ada pandangan kritis dari Dr. Marty Makari, Profesor Johns Hopkins University School of Medicine yang tidak melihat kebutuhan untuk itu. Dia menyatakan bahwa penanganan pandemik tidak bisa hanya dengan memandatkan vaksin kepada setiap orang karena hal tersebut tidak didukung oleh pendekatan science yang kuat. Ketimbang menggunakan pendekatan vaksin, lebih baik menggunakan pendekatan imunitas seseorang. Imunitas adalah sesuatu yang dapat diketahui dengan test antibody yang sederhana. Dia juga berargumentasi bahwa tujuan penanganan pandemik adalah mengurangi kematian, sakit berat, dan kelumpuhan bukan sekedar melakukan vaksinasi ke segenap kelompok masyarakat dengan segala cara,” jelas Farouk. 

Terakhir Farouk juga menjelaskan bahwa dewasa ini ada dua negara besar, AS dan China, yang diproyeksikan oleh IMF mempunyai pertumbuhan ekonomi dunia yang tinggi di 2021 (7.0% dan 8.1% masing-masing) dan bahkan kedua negara ini diproyeksikan oleh World Bank menjadi stimulan pertumbuhan ekonomi dunia dan akan berkontribusi lebih dari satu per empat dari pertumbuhan global di 2021, dengan AS berkontribusi hampir tiga kali dari rata-rata kontribusinya di tahun 2015-19, justru tidak menerapkan kebijakan sertifikat vaksin. 

“Kebanyakan negara bagian di AS sebagaimana dilaporkan oleh National Academy for State Health Policy (30 Agustus 2021) tidak memiliki aturan kewajiban vaksin bagi warganya, bahkan ada 20 negara bagian di AS yang melarang vaccine passports di AS dan hanya 3 negara bagian yang mengizinkan, dan selebihnya (27 negara bagian) netral terkait hal tersebut. Pada dasarnya kebijakan vaksinasi di Amerika Serikat adalah menggunakan pendekatan voluntary dengan berbagai insentif (termasuk insentif moneter) bagi yang melakukannya. Hal yang sama juga dilakukan oleh National Health Commission, China yang mengedepankan pendekatan informed, consented, and voluntary,” tambah mantan Direktur Bank Muamalat ini. 

Dari empat poin diatas, Farouk melihat bahwa untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi nasional yang mulai terjadi di kuartal-II 2021 maka sudah selayaknya kebijakan sertifikat vaksinasi perlu dikaji ulang karena bisa berdampak buruk terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat, dan akhirnya perekonomian nasional. Unsur pemaksaaan yang ada didalamnya juga dapat melanggar prinsip kebebasan sipil (civil liberty). 

“Berdasarkan data our world in data per 31 Agustus 2021, tingkat vaksinasi di Indonesia baru mencapai 23%, dan hanya 13% yang telah mendapatkan vaksinasi penuh. Penerapan kewajiban sertifikat vaksin ini sama saja dengan mematikan sekitar 77% potensi ekonomi nasional dibanyak sektor. WHO pun telah mengeritik pemerintah terkait sertifikat vaksin ditengah-tengah ketimpangan vaksinasi antara satu daerah dan daerah lainnya. Amerika Serikat saja yang tingkat vaksinasinya telah mencapai 61% (52% telah tervaksinasi penuh), tidak memberlakukan kebijakan sertifikat vaksin, bahkan untuk segala macam penerbangan domestiknya (Kecuali Hawai, tidak ada juga kebutuhan test negatif Covid-19). Juga China, dengan tingkat vaksinasi penuh yang telah mencapai 74% (62% telah tervaksinasi penuh),” tegas Farouk. 

Farouk melihat bahwa sebenarnya dengan mempertimbangkan kondisi mutasi virus yang ada sekarang ini, dimana masyarakat yang telah divaksinpun masih bisa tetap terinfeksi Covid-19 dan juga bisa tetap menularkan sebenarnya penerapan 5M yang disiplinlah yang diutamakan. “Jangan sampai kebijakan yang restriktif, seperti model sertifikat vaksin sekarang ini, justru dapat menimbulkan bunuh diri ekonomi (economic suicide) yang akhirnya berdampak negatif pula terhadap kesehatan masyarakat, belum lagi aspek ketidak adilan sosial yang akan ditimbulkannya mengingat ketimpangan distribusi vaksin antar wilayah,” imbuh pemegang MA bidang Ekonomi dari New York University ini. 

Farouk melanjutkan bahwa Departemen Kesehatan sendiri pun melalui juru bicaranya Dr. Siti Nadia Tarmizi telah mengungkapkan tantangan terbesar untuk vaksinasi Covid-19 adalah terkait suplai vaksin itu sendiri dimana Indonesia masih memiliki ketergantungan dari produsen terkait ketersediaanya, belum lagi persoalan tenaga vaksinator yang terbatas, dan rumitnya prosedur distribusi vaksin Pfizer.  


“Untuk meningkatkan tingkat vaksinasi dimasyarakat, yang perlu diperhatikan justru memastikan ketersediaan vaksin diberbagai pelosok negeri, faktanya animo masyarakat di berbagai daerah cukup tinggi untuk mendapatkan vaksin, terlihat dari kerumunan-kerumunan yang terjadi dibanyak tempat, yang sebenarnya tidak boleh terjadi jika manajemen distribusi vaksin bisa berjalan dengan baik, bukan malah dengan menggunakan pendekatan restriktif yang counterproductive, karena hanya mempersulit kondisi masyarakat yang sedang sulit dan juga pemulihan ekonomi nasional,” tutup Farouk.

(ratman/rls/pp)