Home Polkam Kapitalisasi Bencana di Masa Pandemi tidak Manusiawi

Kapitalisasi Bencana di Masa Pandemi tidak Manusiawi

Ketum Partai Ummat Ridho Rahmadi Desak Jokowi Mundur

1,045
0
SHARE
Kapitalisasi Bencana di Masa Pandemi tidak Manusiawi

Keterangan Gambar : Dari kiri ke kanan: Sekjen H. Ahmad Muhajir SH, MH, Wakil Ketua Buni Yani, Ketua Umum Ridho Rahmadi dan Kepala Humas Mustofa B. Nahrawardaya.

Ketum Partai Ummat Ridho Rahmadi Desak Jokowi Mundur

Kapitalisasi Bencana di Masa Pandemi tidak Manusiawi

Jakarta, parahyangan-post.com-  Partai Ummat mengecam pejabat yang diduga terlibat dalam bisnis tes PCR di masa pandemi.  Karena melanggar etika, kepatutan, dan keadaban publik yang seharusnya dijunjung tinggi.  Hal tersebut disampaikan Ketua Umum Partai Ummat Dr. Ing. H. Ridho Rahmadi S. Kom, M.Sc, di Jakarta, Rabu 03/11.

“Kapitalisasi bencana di masa pandemi tidak bisa  diterima akal sehat karena mengandung unsur kezaliman,” tutur Ridho, yang saat menyampaikan peryataan itu didampingi Sekjen H. Ahmad Muhajir SH, MH, Wakil Ketua Buni Yani dan  Kepala Humas  Mustofa B. Nahrawardaya.

Diberitakan sebelumnya, sejumlah Menteri cabinet Jokowi dan pejabat elit diduga terlibat bisnis tes PCR yang meraup keuntungan gila-gilaan. Diantaranya Menkomarves Luhut Pandjaitan, Menteri BUMN Erick Thohir, mantan Menperindag Enggartiasto Lukita dan  Ketua Kadin Arsjad Rasjid.

Konflik Kepentingan

Lebih jauh Ridho  mengatakan terdapat konflik kepentingan yang besar bila para pejabat publik ikut berbisnis tes PCR karena mereka adalah pembuat regulasi sekaligus. Itu sebabnya, tambah Ridho, kecurigaan publik bahwa peraturan yang dibuat tujuannya untuk mengeruk keuntungan bagi perusahaan mereka menjadi masuk akal dan mendapatkan pembenaran.

“Potensi konflik kepentingan dan penyalahgunaan kekuasaan dalam kebijakan tes PCR yang merugikan publik ini hanyalah puncak dari gunung es yang sudah berlangsung tujuh tahun selama rezim Jokowi berkuasa,” tambah menantu Amien Rais ini.

Yang lebih mengkhawatirkan, kata Ridho, adalah kemunduran demokrasi ini ditandai dengan terancamnya pemilu yang jujur dan adil, intensifnya pemberangusan kebebasan berkumpul dan berpendapat, pembunuhan KPK untuk melindungi korupsi oligarki, dan meningkatnya jabatan sipil yang dipegang oleh Polri dan TNI.

Ia mengutip hasil temuan kajian sejumlah peneliti dan lembaga baik dari dalam maupun luar negeri yang menyebutkan bahwa Indonesia mengalami kemunduran demokrasi akibat salah kelola dan ketidakmampuan Presiden Jokowi dalam mengurus negara.

Laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) menunjukkan skor indeks demokrasi Indonesia menurun di era pemerintahan Presiden Jokowi. Skor indeks demokrasi Indonesia mencapai 6,3 pada 2020, terendah dalam satu dekade terakhir.

Di Asia Tenggara, kata Ridho, Indonesia menempati peringkat keempat di bawah Malaysia, Timor Leste, dan Filipina. “Ini jelas memalukan. Masa negara kita kalah oleh Timor Leste yang pernah menjadi provinsi ke-27 Indonesia?”

Malaysia tercatat memiliki skor indeks demokrasi sebesar 7,19 pada 2020, menjadi yang tertinggi di kawasan. Setelahnya ada Timor Leste dengan skor indeks demokrasi sebesar 7,06. Posisinya disusul oleh Filipina dengan skor indeks demokrasi mencapai 6,56.

Laporan Indeks Demokrasi Indonesia memperlihatkan turunnya skor indeks kebebasan berpendapat yang semula 66,17 di tahun 2018 menjadi 64,29 di tahun 2019.

EIU menggarisbawahi menurunnya kebebasan berkumpul dan berpendapat sebagai pangkal utama dari penurunan kualitas demokrasi Indonesia. Rezim Jokowi memberlakukan pendekatan represif kepada kelompok yang berbeda pandangan politik.

Ridho menyebut sejumlah contoh mencolok bagaimana Jokowi menggunakan tangan besi dalam memberangus perbedaan politik.

“Di antaranya adalah pembubaran HTI tanpa putusan pengadilan, pembubaran FPI tanpa proses pengadilan, dihentikannya penayangan ILC di TV One, kriminalisasi aktivis Muslim dan ulama, penangkapan dan pemenjaraan aktivis KAMI, dan yang paling brutal, pembunuhan enam laskar FPI secara biadab di Kilometer 50,” kata Ridho.

Tidak cuma itu, kata Ridho, pemberangusan kebebasan bicara juga sudah masuk kampus dengan meluasnya intimidasi terhadap para mahasiswa yang berani memberikan kritik dan melakukan demonstrasi.

“Partai Ummat sangat prihatin dengan kemunduran ini. Sejumlah mahasiswa bahkan kena skorsing di kampusnya,“ kata Ridho. Dia menambahkan keadaan ini tidak terjadi pada pemerintahan sebelumnya.

Rezim Jokowi melakukan pembungkaman kebebasan berkumpul dan berpendapat, kata Ridho, tujuannya agar kekuasaan dapat dijalankan tanpa pengawalan.

“Dalam kondisi ini terjadi kolaborasi antara para oligark politik dan oligark ekonomi tanpa perlawanan sama sekali sehingga mereka leluasa dapat merumuskan berbagai kebijakan ekonomi yang pro korporasi dan kebijakan politik yang pro status quo,” demikian Ridho Rahmadi.

Sekarang, kata Ridho, jalan menuju negara otoriter sedang dipersiapkan rezim Jokowi setelah berhasil mengkooptasi, mengangkangi dan melumpuhkan semua lembaga yang seharusnya berfungsi sebagai checks and balances.

Mundur

“Berdasarkan fakta-fakta di atas, dan dalam rangka melawan kezaliman dan menegakkan keadilan, Partai Ummat mendesak agar Presiden Jokowi berpikir keras dan bersungguh-sungguh untuk memikirkan opsi mengundurkan diri karena telah gagal mengurus kepentingan publik yang vital di masa pandemi,“ kata Ridho.

Ridho menambahkan memberhentikan kedua menteri ini saja tidak cukup. Lanjutnya, kedua menteri yang berada di bawah pengawasan dan koordinasi langsung dengan Presiden Jokowi telah melanggar kepatutan dan sumpah sebagai pejabat publik yang seharusnya mengutamakan kepentingan rakyat.

Sekali lagi, kata Ridho, sejalan dengan tuntutan para mahasiswa dalam demonstrasi terakhir, Partai Ummat mendesak agar Presiden Jokowi mempertimbangkan opsi pengunduran diri demi penyelamatan bangsa dan negara yang sudah dicengkram oleh kaum oligark.

“Apalagi demokrasi kita sudah semakin terbenam dalam rawa-rawa nihilisme dan anarkisme. Ini adalah pilihan terbaik di tengah salah kelola negara ini,“ pungkas Ridho.*** (IL/PP)