Keterangan Gambar : Deti Kutsiya Dewi, S.Tr.Ak,M.S.Ak (Aktivis Dakwah)
Oleh: Deti Kutsiya Dewi, S.Tr.Ak,M.S.Ak,
Aktivis Dakwah
LAGI LAGI - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membuat rakyat kecewa dan geram dengan adanya kebijakan tunjangan rumah dinas setelah ada kebijakan rumah jabatan anggota atau RJA DPR RI. Belum juga mulai bekerja sudah berpolah. Dilansir dari Detik.com, (8/10/2024), besar tunjangan rumah untuk anggota DPR mencapai 50 juta rupiah per bulan. Tunjangan ini diharapkan memudahkan peran anggota dewan sebagai wakil rakyat dalam menjalankan fungsinya sebagai penyalur aspirasi rakyat. Tapi rakyat sudah sangat lelah dengan hal ini, karena harapan selalu tidak sesuai dengan kenyataan. Buktinya dengan berbagai tunjangan yang ada, rakyat mendapati DPR periode sebelumnya tidak bekerja menyalurkan aspirasi rakyat namun bekerja untuk kepentingan penguasa dan pengusaha.
Faktanya, DPR bergerak cepat mengesahkan RUU Dewan Pertimbangan Presiden dan RUU Kementerian Negara yang mewakili penguasa dan pengusaha. Ditambah lagi ketika rakyat menyuarakan dengan keras dan menolak adanya undang-undang Ciptaker, DPR justru tetap mengesahkannya. Di sisi lain, undang-undang terkait kepentingan rakyat seperti RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan RUU Masyarakat Adat belum tersentuh DPR.
Pragmatisme dalam menyusun legislasi DPR juga terlihat saat DPR menganulir keputusan MK terkait RUU Pilkada dalam waktu sehari demi menjaga eksistensi kekuasaan pihak tertentu. Ditambah lagi realita anggota DPR periode ini sangat kental dengan dinasti politik karena sebagian besar dari anggota DPR tersebut memiliki relasi kekerabatan dengan pejabat publik yang beragam mulai dari suami istri, anak, keponakan, dan lain-lain.
Dengan demikian, harapan para wakil rakyat bisa bekerja secara optimal dan efisien dengan tambahan tunjangan bagaikan pungguk merindukan bulan alias mustahil terjadi. Selain itu, dengan adanya RJA, tunjangan ini bisa menjadi satu pemborosan anggaran negara.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Seira Tamara mengatakan total pemborosan anggaran oleh anggota DPR untuk tunjangan perumahan berkisar dari 1,36 triliun rupiah hingga 2,06 triliun rupiah dalam jangka waktu 5 tahun ke depan (kumparan, com, 11/10/2024). Persoalan lain yang muncul akibat mekanisme pembayaran tunjangan ini yang menyatu dengan komponen gaji sehingga sulit untuk ditelusuri penggunaannya.
Maka dapat disimpulkan, kebijakan tunjangan rumah dinas untuk DPR hanya untuk memperkaya anggota DPR. Di sisi lain, tunjangan tersebut merupakan kebijakan yang ironis dibandingkan dengan realita yang dihadapi rakyat hari ini. Mahalnya harga rumah membuat rakyat kesulitan untuk memiliki tempat tinggal yang layak bahkan ada yang terpaksa tinggal di jalanan. Ada sekitar 3 juta tunawisma di Indonesia dengan 28.000 berada di Jakarta dan 77.500 gelandangan dan pengemis tersebar di banyak kota besar di seluruh Indonesia pada tahun 2019. Ditambah lagi adanya iuran tapera bagi pekerja, kebijakan tersebut membuat rakyat makin susah hidupnya.
Demikianlah kondisi masyarakat yang diwakili oleh wakil rakyat dalam sistem demokrasi kapitalisme yang meniscayakan politik dinasti, politik balas budi, hingga politik untuk memperkaya diri dan golongan. Wakil rakyat hari ini seakan-akan hanya menjadi wakil bagi “kesenangan” rakyatnya, “mewakili” dapat tunjangan rumah, “mewakili” hidup mewah, “mewakili” akses pendidikan dan pekerjaan tanpa mempedulikan penderitaan yang dirasakan oleh rakyatnya dan lupa untuk mendengar dan menyuarakan aspirasi rakyat.
Hal ini sangat berbeda dengan wakil rakyat dalam sistem Islam. Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab Ajihizah Ad-Daulah Al-Khilafah menjelaskan wakil rakyat dalam Islam disebut majelis umah. Mereka terdiri dari orang-orang yang telah dipilih umat dan perwakilan umat sebagai tempat merujuk bagi khalifah untuk meminta masukan atau nasihat mereka dalam berbagai urusan. Mereka mewakili umat dalam melakukan muhasabah, yakni mengontrol dan mengoreksi para pejabat pemerintahan.
Keberadaan majelis ini diambil dari aktivitas Rasulullah SAW yang sering meminta pendapat atau bermusyawarah dengan beberapa orang dari kaum Muhajirin dan Anshor yang mewakili kaum mereka. Dari konsep wakil rakyat seperti ini, keberadaan majelis umat dengan DPR sangat berbeda dari segi peran dan fungsinya. Majelis umat murni mewakili umat atas dasar iman dan kesadaran utuh sebagai wakil rakyat yang bertugas untuk menjadi penyambung lidah rakyat, kesadaran ini menjadikan mereka fokus pada fungsi yang harus diwujudkan karena status sebagai majelis umat merupakan amanah yang akan dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT dan bukan pada keistimewaan yang diberikan negara.
Selain itu, Islam juga memiliki aturan terkait harta, kepemilikan maupun pemanfaatannya. Dalam sistem ekonomi Islam sebagaimana yang dijelaskan oleh Syekh Taqiuddin Anabhani dalam kitab Nidzomul Iktisodi, kepemilikan harta dalam Islam dibagi menjadi tiga, yakni pertama adanya harta milik individu seperti sawah, tambak, kebun, dan sejenisnya. Kedua harta milik rakyat, yakni sumber daya alam termasuk tambang, sumber mata air di gunung dan sejenisnya, dan ketiga harta milik negara, seperti jizyah, usyur, iqtha’ dan sejenisnya.
Konsep tersebut akan membawa keadilan bagi seluruh rakyat, karena dalam Islam melarang adanya pencampuran pemanfaatannya, misalnya harta milik rakyat haram di monopoli swasta. Harta sumber daya alam harus dikelola negara yang hasilnya dikembalikan kepada rakyat, salah satunya bisa berupa kemudahan memperoleh rumah untuk tempat tinggal. Maka dari itu, tidak ada lagi kesenjangan sebagaimana DPR saat ini dengan rakyat. (*)
LEAVE A REPLY