Keterangan Gambar : Sesi Foto Bersama Usai Diskusi Sastra (I), Tampak dalam Gambar, Arief Joko Wicaksono, Octavianus Mahseka (Ketua TISI), Fadli Zon, Sutardji Calzoum Bachri, LK Ara, dan Ewith Bahar (sumber foto : Bayu/pp)
JAKARTA – Parahyangan Post - “Kalau HB Jassin pernah dijuluki Paus Sastra Indonesia, menurut saya Taufiq Ismail adalah Bapak Sastra Indonesia,”jelas Fadli Zon.
Hal tersebut disampaikan Fadli Zon, pada acara Diskusi Sastra (1) yang di gelar Taman Inspirasi Sastra Indonesia (TISI), Dinas Kebudayaan, Dinas Perpustakaan dan Arsip (Dispursip) Prov.DKI Jakarta, serta PDS HB Jassin, Sabtu (22/06/2024). Kegiatan tersebut merupakan rangkaian kegiatan Menuju Anugerah Sastra dan Kebudayaan 2024 kepada Taufiq Ismail dari Dinas Kebudayaan Prov.DKI Jakarta.
Selain Fadli Zon, pembicara lainya, Sutardji Calzoum Bachri, Ewith Bahar (moderator), Swari Utami Dewi (pembaca puisi) dan Beliana (MC).
Selain itu juga tampak hadir, para satrawan, penyair, penggiat seni dan juga para mahasiswa dari Politeknis Negeri Jakarta, awak media serta tamu undangan lainnya.
Pembicara pertama, Sutardji Colzoum Bachri menceritakan kenangan pertamanya bertemu dengan Taufiq Ismail dalam suatu acara yang diadakan Paguyuban sastra Sunda, di Bandung. Menurut Sutardji, Taufiq Ismail merupakan penyair besar di mana puisi-pusinya menjadi saksi sejara pada zamanya. Taufiq Ismail mampu memotret peristiwa yang terjadi melalui bahasa yang sederhana namun menyentuh dan bisa melampaui zamanya.
“Puisi Karangan Bunga dalam buku kumpulan puisi Tirani dan Benteng (1996) menggunakan bahasa yang sederhana, tetapi mampu menusuk ke kalbu dan memiliki rasa puitika yang tersembunyi sehingga mampu melampui zamanya,”jelas Sutardji, seraya membacakan puisi berjudul Karangan Bunga.
Sementara itu, Fadli Zon dalam kesempatan tersebut menyampaikan secara detail tentang sosok Taufiq Ismail, mulai dari profil dan perjalannya dalam dunia satra di Indonesia.
“Taufiq Ismail, lanjut Fadli Zon, adalah sebuah nama besar dalam sastra Indonesia. Karya-karyanya melintasi tiga zaman dan menjadi kesaksian atas banyak peristiwa. Ia adalah penyair yang terlibat dengan setiap pergeseran sosial, budaya dan politik yang terjadi di Indonesia. Tak hanya itu, Taufiq Ismail adalah tonggak besar dalam perjalanan kebudayaan Nusantara,”ungkap Fadli Zon.
Bahwa sebagai seorang penyair yang melintasi banyak zaman, Taufiq Ismail benar-benar telah mendedikasikan hidupnya bagi kemajuan sastra Indonesia.
Waktu, tenaga dan pikirannya tak pernah lepas dari sastra. Warisan kerja dan karyanya terbentang nyata. Ia bukan penyair individualis yang berdiri di atas menara gading atau berwacana sekedar kata.
Taufiq Ismail adalah penyair yang terlibat, organik, dan selalu setia pada pergeseran waktu dan budaya. Ia menjadikan mimpinya kenyataan. Ia selalu hadir ditengah perubahan zaman. Ia pun ikut menghela perubahan itu dengan pusisi, dan sastra.
Pada tahun 1966 Taufiq Ismail ikut mendirikan majalah Sastra Horison bersama Mochtar Lubis, PK Ojong, Arief Budiman dan Zaini. Sampul depan pertama majalah Horison adalah poster puisi Taufiq Ismail, Karangan Bunga. Sudah banyak sastrawan yang lahir dan dibesarkan oleh majalah Horison. Mulai dari penyair, cerpenis, novelis, penulis eseai sampai pelukis. Horison adalah tempat persemian dan rumah besar sastra Indonesia. Hingga kini Horison menjadi satu-satunya mejalah satra terkemuda di Indonesia. Usianya memasuki tahun ke-58.
Taufiq Ismail menggagas sisipan ‘Kaki Langit’ dalam majalah Horison. Dengan adanya halaman-halaman Kaki Langit, sastra bukan lagi milik elit sastrawan. Siswa siswa setara SMA mulai dimasuki sastra. Siswa diperkenalkan pada tokoh-tokoh sastrawan dan proses kreatif mereka berkarya. Para siswa juga didorong menulis puisi, cerpen, dan esai. Majalah Horison dan Kaki Langit akhirnya menembus sekolah-sekolah di tanah air.
Selain majalah sastra Horison yang masuk ke perpustakaan sekolah, Taufiq Ismail dan kawan-kawan Horison menggagas sejumlah kegiatan sejak tahun 1998, yaitu program Gerakan Membawa Sastra ke Sekolah dengan Sembilan aktivitas. Antara lain MMAS (Membaca, Menulis dan Apresiasi), SBMM (Sastrawan Bicara Mahasiswa Membaca) dan SBSB (Sastrawan Bicara Siswa Bertanya). MMAS adalah pelatihan 6 hari bagi guru Bahasa dan sastra, diikuti oleh lebih dari 2000 peserta yang berlangsung di 11 kota, sejak tahun 1999.
Berbagai program ini merupakan inisiatif untuk menumbuhkan kecitaan generasi muda pada pada sastra dan mendorong minat menulis. Hingga kini telah ribuan siswa, mahasiswa dan guru yang dilatih oleh gerakan sastra yang dipimpin Taufiq Ismail ini.
Pada tahun 2008, Taufiq Ismail mendirikan Rumah Puisi Taufiq Ismail di Nagari Aie Angek, Tanah Datar, Sumatera Barat. Lokasinya berada di kaki Gunung Singgalang dan Gunung Marapi. Rumah Puisi ii adalah rumah puisi pertama dan satu-satunya di Indonesia. Di dalamnya ada sekitar 8.000 buku koleksi Taufiq Ismail. Dinding ruangan dipenuhi poster puisi dari sejumlah penyair Indonesia.
Lalu terpampang kutian-kutipan kata bijak tentang puisi, sastra dan buku dari orang-orang besar dunia. Sebuah ruangan dengan kursi-kursi menjadi tempat aktivitas Sanggar Puisi dan menerima kunjungan siswa dari berbagai sekolah hampir setiap minggu. Rumah Puisi mulai menjadi wadah aktivitas sastra di Sumatera Barat dan Indonesia. Di sini telah lahir pula karya-karya sastra puisi, cerpen dan novel. Di sebelah Rumah Puisi, saya membangun Rumah Budaya yang menjadi kantung kebudayaan baru di Sumatera Barat.
Puisi-puisi Taufiq Ismail tak hanya menjadi saksi tentang situasi social politik Indonesia, Ia juga berbicara tentang banyak tema lain, yaitu cinta, alam, kemanusiaan, agama dan Tuhan. Taufiq Ismail menulis cerpen, drama dan esai serta kolom dengan lanskap tema yang cukup melimpah dan beragam. Ia menerjemahkan puisi, cerpen, dan buku-buku Islam.
Taufiq Ismail terbilang penulid dan editor produktif yang telah menerbitkan 14 judul buku. Melalui sastra Taufiq Ismail telah ambil bagian dalam berbagai isu penting negeri ini.
(ratman/byu/pp)
LEAVE A REPLY