Home Opini Abainya Pemerintah, SMP Negeri di Tengah Kota Bandung Tidak Memiliki Gedung

Abainya Pemerintah, SMP Negeri di Tengah Kota Bandung Tidak Memiliki Gedung

268
0
SHARE
Abainya Pemerintah, SMP Negeri di Tengah Kota Bandung Tidak Memiliki Gedung

Keterangan Gambar : Ismi Balza Azizatul Hasanah

Oleh : Ismi Balza Azizatul Hasanah
Mahasiswi Politeknik Negeri Jakarta

ENAM - Tahun sudah SMPN 60 Bandung berdiri. Namun, sejak didirikan, sekolah tersebut tidak memiliki bangunan sekolah sendiri. Sejak tahun 2018, siswa SMPN 60 Bandung harus menumpang di bangunan SDN 192 Ciburuy, Kecamatan Regol, Kota Bandung.

Sedangkan tidak semua kelas dapat tertampung dalam bangunan SD tersebut. Alhasil sebagian siswanya harus belajar di luar kelas demi mengikuti kegiatan belajar mengajar (KBM). Selain lesehan dengan beralaskan terpal plastik berwarna biru di teras ruangan luar kelas, para siswa juga kerap belajar di bawah pohon rindang atau disingkat DPR.

Puluhan siswa SMPN 60 bandung yang belajar di taman sekolah (di bawah pohon rindang) atau di selasar kelas berjumlah dua rombongan belajar dari total Sembilan rombongan. Sedangkan tujuh rombongan lainnya belajar di ruangan kelas. Humas SMP Negeri 60 bandung, Rita Nurbaeni mengaku sudah mengajukan permohonan Gedung kepada Dinas Pendidikan Kota Bandung. Namun hingga saat ini belum mengetahui pasti perkembangan permohonan permintaan tersebut (
Detikjabar, 28/09/2024). 

Sungguh sangat miris jika sekolah negeri tidak memiliki gedung sebagai tempat belajar para siswa. Padahal, pendidikan menjadi poin penting dalam menentukan kehidupan masa depan bangsa, serta menjadi hal pokok yang harus didapatkan bagi setiap rakyat. Kasus seperti ini dapat terjadi karena sistem pendidikan yang dianut oleh sistem Kapitalisme, dimana negara tidak berpihak penuh kepada rakyat.

Hal ini terlihat jelas, ketika negara tidak memenuhi sarana dan prasarana bagi sekolah-sekolah yang dibutuhkan untuk menunjang proses belajar mengajar para siswa. Sistem Kapitalisme Liberal meghasilkan masalah dalam perekonomian negara, sehingga anggaran Pendidikan pun menjadi minim. Otomatis Pembangunan infrastruktur sekolah pun menjadi terhambat. Hal tersebut juga ditambah dengan buruknya birokrasi karena otonomi daerah. 


Dalam sistem Kapitalisme, negara seolah lepas tanggung jawab dalam urusan Pendidikan. Sebab, negara Kapitalisme jauh dari fungsi raa’in (pengurus rakyat). Pendidikan cenderung dilempar menjadi tanggung jawab swasta, hal ini membuat perencaan Pendidikan tidak matang. Banyak sekali masalah yang terhambat penangannya, bahkan ada yang tidak tertangani. Ada sekolah yang tidak memiliki ruangan atau sekolah rusak di daerah yang menunggu respon  pemerintah pusat, namun tidak kunjung diselesaikan. Parahnya lagi, sistem ini sudah melahirkan praktik pengelolaan nilai anggaran yang korup, karna sudah jauh dari nilai-nilai agama (Sekulerisme). Akibatnya, alokasi dana Pendidikan yang asalnya sedikit tidak dapat terserap dengan sempurna. Tanggung jawab kewajiban penyelenggaraan Pendidikan juga lemah, birokrasipun tidak tegak sesuai kebutuhan. 

Berbeda dengan sistem pendidikan yang dijalankan oleh negara Islam (Khilafah). Islam menjadikan pendidikan sebagai salah satu bidang strategis untuk membangun peradaban yang maju dan mulia. Pendidikan juga merupakan salah satu kebutuhan pokok rakyat yang harus dipenuhi negara dengan anggaran yang bersifat mutlak.

Negara dalam Islam berperan sebagai raa’in (pengurus rakyat), sebagaimana hadits Rasullullah SAW “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya,” (HR. al-Bukhari). Hadits tersebut menuntut negara untuk bertanggung jawab atas rakyatnya, termasuk dalam pemenuhan kebutuhan pendidikannya dengan kualitas terbaik. Infrastruktur dalam Khilafah harus memadai. Negara memiliki big data kependudukan yang akan dimanfaatkan dengan baik oleh negara, untuk perencanaan pembangunan, termasuk pembangunan institusi Pendidikan.


Dari big data tersebut, negara mengetahui berapa jumlah rakyatnya yang memerlukan pendidikan dasar maupun tinggi. Negara juga akan memetakan penyebaran rakyat yang membutuhkan sekolah, sehingga negara mengetahui berapa kebutuhan sekolah yang harus di bangun hingga ke pelosok.

Dalam membangun infrastruktur pendidikan, negara wajib menyediakan sarana dan prasarana yang memadai. Seperti gedung-gedung sekolah, laboratorium, balai-balai penelitian, perpustakaan, teknologi yang mendukung pembelajaran, dan sebagainya. Semua jenjang pendidikan harus memiliki fasilitas yang sama agarsemua peserta didik yang di wilayah dapat menikmati fasilitas pendidikan yang berkualitas. Semua itu menjadi tanggung jawab negara sebagai pengurus rakyat. Dimana seluruh pembiayaan menjadi tanggung jawab negara bukan peserta didik.


Negara tidak boleh menjadikan pendidikan menjadi lahan bisnis yang di komersialkan. Seluruh pembiayaan pendidikan diambil dari Baitul Maal serta pos kepemilikan umum. Dibawah penerapan sistem politik ekonomi Islam, negara mampu memenuhi kebutuhan anggaran pendidikan. Apalagi pembiayaan tersebut bersifat mutlak, artinya jika pembiayaan dari dua pos tersebut tidak tercukupi, maka negara akan melakukan mekanisme berikutnya yang dibolehkan syariat dan bersifat temporer.

Negara tidak akan menghambat pembangunan infrastruktur pendidikan hanya karna kekurangan anggaran, sebab hal ini akan membuat rakyat tidak bisa sekolah atau bersekolah dengan fasilitas seadanya. Selain itu, Khilafah juga akan menyediakan pengajar yang profesional dan memberikan gaji yang layak bagi mereka. Inilah sistem Pendidikan Islam yang bisa diakses secara gratis oleh siapapun. Kaya atau miskin, Muslim atau non Muslim, dengan sarana dan prasarana terbaik dan unggul. Hanya Khilafah yang mampu mewujudkan sistem Pendidikan seperti ini.(*)